Konser Shaggydog, Bikin Jatuh Cinta Lagi


Selalu menarik membicarakan band Jogja ini. Mengapa begitu? Satu, mereka adalah salah satu dari (sangat) sedikit band yang mempertahankan akar musik. Dua, mereka bangga dengan tanah kelahiran. Dalam artian, tetap berbahasa Jawa dan tak malu bicara dengan logat Jogja kental.

Ketiga dan terpenting, sampai 15 tahun usia mereka, Shaggydog tak berhenti belajar. Dari album pertama (SHAGGYDOG) sampai yang terakhir (BERSINAR, 2009), kamu bisa mendengar bagaimana mereka berevolusi, tanpa kehilangan karakter.

Pertama kali tahu Shaggydog, dari lagu Room, album UNITED UNDERGROUND COMPILATION (1997). Waktu itu saya sedang sibuk mempelajari ska dari Reel Big Fish, Hepcat, serta band-band two tone dari Jamaika, negara asal ska.

Tanah air ini pernah dilanda demam ska, di mana tiba-tiba semua band memainkan ska sehingga kehilangan esensinya. Karena itu saya kaget bukan kepalang, tahu ada band Indonesia memainkan ska dengan kualitas seperti ini. Sejak saat itu, Shaggydog tak pernah lepas dari pengamatan dan pendengaran saya.

Selain mendengarkan album-albumnya, saya juga rajin menonton konser-konser Shaggydog. Ada yang lebih menarik dari sekadar mendengar lagu, yaitu merasakan atmosfer panggung. Mereka memang band panggung, bukan band studio rekaman seperti kebanyakan band hari ini.

Sabtu, 17 November lalu, saya meluncur menembus hujan di selatan Jakarta menuju Rolling Stone Cafe. Shaggydog bakal manggung di sana. Saya baru nonton mereka di Djakarta Atmosphere, saat mereka kolaborasi dengan senior Bob Tutupoli, tetapi waktu itu cuma beberapa lagu.

Saya ngotot memaksa nonton kali ini, karena mereka bakal jadi artis tunggal. Artinya, yang datang pasti suka Shaggydog. Dan mereka tak bakal cuma bawain 3 sampai 5 lagu kan? Pasti belasan! Ah, terbayang senangnya berdansa dengan Heru dan kawan-kawan.

Setelah menukar kwitansi dengan minuman air jeruk, saya mengamati panggung. Bulan November, musim hujan. Agak riskan menggelar acara di bulan-bulan seperti ini. Panggung dan lantai dansa kecil dilapis kayu memang ditutup atap, tetapi lantai dansa itu mampu menampung berapa orang Doggies (sebutan untuk penggemar Shaggydog)?

Menurut jadwal, Shaggydog naik panggung pukul 20.00. Saya gelisah setelah 30 menit lewat dari jam 8 malam, dan tersenyum 30 menit kemudian. Pukul 21.00, acara dimulai. Penonton yang tadinya duduk-duduk di pinggir langsung memenuhi lantai dansa, siap bersenang-senang.

Shaggydog membawa lengkap pasukannya, ditambah seorang peniup saksofon dan peniup terompet yang memainkan peran mereka dengan sangat, sangat baik. Perasaan saya mengatakan mereka ini teman lama, dan ternyata benar. Sang peniup saksofon pernah serta dalam perjalanan Shaggydog ke Belanda beberapa tahun silam. Pantas saja percikan kimianya terasa menyatu.

Saya tidak banyak berdansa di awal, hanya menggoyangkan badan dan ikut meneriakkan lirik. Tadi saat masuk venue, menyempatkan diri melirik songlist di meja operator. Tertulis 16 lagu, dan saya tak bisa menahan senyum senang. This is gonna be great!

Heru (vokal), Richard (gitar), Raymond (gitar), Bandizt (bas), Liliq (keyboard) dan Yoyo (drum) menunaikan tugas mereka dengan bahagia. Mereka jelas menikmati bermain di acara ini, bersama massa yang bernyanyi tiada henti dan aliran stok minuman.

Heru malam itu memilih tampil klimis, dengan bangga menyebutkan berbagai produk sponsor yang melekat di tubuh. Dia berkomunikasi dengan baik, seperti biasa. Satu yang kerap terlewatkan adalah Liliq. Pria tambun ini juga memberi nyawa tak sedikit di penampilan Shaggydog, hanya saja posisinya di pinggir panggung kurang menguntungkan.

Shaggydog membagi rata lagu dari lima album mereka. Tak cuma yang baru-baru seperti Ditato, Honey, From The Doc to The Dog, namun juga Kecoa, Jalan-Jalan, sampai Room. Saya pun histeris. Bagaimanapun lagu ini punya nilai nostalgia tinggi buat saya. Sesuai dugaan, Shaggydog mengaransemen ulang lagu favorit saya itu, menambah kental unsur dub. And it was amazing!

Saya jatuh cinta sekali lagi dengan Shaggydog. Ini yang saya kagumi dari mereka. Seorang sahabat yang menemani saya bahkan berkata, "Kalau aku tahu lagu ini dari dulu, aku bakal nge-fans Shaggydog." Padahal sahabat saya ini kegemarannya Frank Zappa.

Improvisasi demi improvisasi konsisten dilakukan. Kalau disimak benar, Shaggydog tak hanya memainkan ska. Mereka juga bersenang-senang dengan reggae, ragamuffin dan dub. Oh ya, Heru jago juga lho, ber-ragamuffin.

Beberapa penonton berteriak meminta lagu Selamatkan Atau Hilang yang ditulis sebagai ungkapan prihatin atas punahnya orang utan. Bukannya menyanyikan lagu tersebut, Shaggydog malah memperkenalkan lagu berjudul Putra Nusantara yang berkisah soal pendidikan anak-anak. Seorang rapper kawakan Indonesia ikut naik panggung, penonton bergemuruh. Iwa K!

Penonton yang memang tidak banyak jumlahnya, bernyanyi tiada henti dari awal. Tak apa, venue juga tak luas. Masih bisa berdansa dengan aman dan nyaman. Udara jadi hangat, semua orang tersenyum. Sayangnya kesenangan itu harus dua kali terhenti, karena mati listrik.

Ini mengejutkan, karena venue di tempat ternama. Mati listrik pertama terjadi saat Heru berbincang dengan penonton. Hanya satu detik, namun ketika yang terjadi untuk kedua kalinya, Shaggydog sedang memainkan Di Sayidan!

Wajah Heru pias seketika, namun hei, penonton tidak berhenti bernyanyi. Selama beberapa detik berikutnya, ada koor sumbang menyanyikan Di Sayidan. Richard mengangkat tangan, menyemangati para Doggies yang berteriak makin keras. Suasananya jadi epic, bikin merinding. Untunglah, listrik segera menyala, Shaggydog pun mengiringi koor. Tak lama, Heru kembali tersenyum.

Tepat 16 lagu, Heru mengucapkan terima kasih dan panggung jadi kosong, menyisakan Liliq yang sedang mengobrol dengan seorang penonton, mungkin temannya. Penonton lain menolak pergi, semua bersahut-sahutan meminta tambahan lagu. Trik lama namun masih berhasil. Shaggydog kembali naik panggung!

Rudy's Story menjadi lagu encore malam itu, di mana penonton menyambung koor mereka. Lagu ini memang sangat anthemic. Memasuki outro lagu, saya baru saja menghembuskan nafas puas ketika intro yang sangat saya kenal terdengar. Monkey Man, lagu 'kebangsaan' dari The Specials!

Lantai dansa yang terbuat dari kayu bergetar. Saya mengangkat tangan dan melompat ke tengah kerumunan. Sayang rasanya kalau tak ikut jadi monyet di lagu ini. Kecuali Yoyo dan Liliq, semua personel Shaggydog menari di panggung.

Monkey Man benar-benar jadi penutup konser yang menyenangkan. Saya merayap turun lantai dansa, bersimbah keringat menuju kamar mandi. Sambil menunggu bilik kosong, di sebelah saya seorang ibu-ibu setengah baya bersenandung, "Di Sayidan, di Sayidan, angkat sekali lagi gelasmu, kawan..."

Ibu itu berusia sedikitnya 50 tahun, berpakaian bagus, menebar aroma parfum lembut, jelas tidak berkeringat. Sepertinya bukan hanya saya yang jatuh cinta lagi malam ini.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

"Komentar support Emoticon Standar"

Silahkan berkomentar dengan sopan dan bijak.